Translate

Kamis, 12 Desember 2013

Padepokan di Usia Senja


Padepokan ini adalah warisan.
Karya anak zaman.
Kayu pasti lapuk.
Batu yang dulunya cadas, pasti lapuk.
Usia, yang memintal benang kini telah jadi emas.

Diantara peluh sesak pondok logistik.
Ada bara kerkepulan asa.
Dentuman godam irama akustik.
Ada teriak terbakar cita.

Kalaupun padepokan ini tak ramai lagi.
Semangatnya haruslah terwarisi.
Jutaan keringat dan gagasan.
Tak kan lapuk dimakan zaman.

Karena padepokan ini tak berpilar pasir.
Melainkan berkristalkan garam kearifan timur.
Mencadaskan usia.
Memberi rasa.

Pengadilan Kampus


Sederhananya, pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mancari, mengolah segala informasi berupa pengeahuan untuk menyejahterakan hidup manusia. Pendidikan haruslah progresif, kreatif, dan kritis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju. Teori tentang pendidikan pun terus bergulir dari masa ke masa, baik secara sistem maupun peningkatan kondusifitas iklim akademik yang baik.

Menilik sejarah pendidikan formal, yang berawal dari kekecewaan Socrates terhadapa kaum Sophis karena untuk memperoleh ceramah pengetahuan tentang retorika, filsafat harus mengeluarkan budget yang besar agar bisa mengikui kuliahnya. Socrates yang tidak mampu memenuhi segala pembayaran tersebut akhirnya mengeluarkan gaya baru dalam memperoleh pengetahuan, dari sistem ceramah kaum Sophis, dengan dialog gaya Socrates. Dalam sejarahnya, ilmu pengetahuan memang mahal, namun kemudian Plato murid Sorates mendirikan sekolah yang bernama Akademi Plato, yang diyakini sebagai cikal bakal sekolah formal pertama di dunia, dan tentunya gratis…

Memperoleh pendidikan dengan cara kreatif adalah keharusan mutlak bagi manusia yang berpikir. Menyekolahkan otaknya tapi tidak menyekolahkan hatinya adalah hal yang menciderai dari tujuan pendidikan itu sendiri.

Melihat situasi sistem pendidikan mutakhir, menurut pandangan pribadi saya, tidak lagi mengedepankan kreatifitas. Terlalu kritis malah dianggap berbahaya, nilai bahkan dikesampingan dengan alasan gaya pendidikan modern. Jose Ortega, dalam makalahnya mengatakan bahwa, “Pendidikan tanpa nilai hanya akan melahirkan “a new educated Barbarian” (orang biadab baru yang terpelajar). Persoalan nilai tentu diterjemahkan melalui pendidikan universal sampai kepada kearifan lokal.

Namun, secara pribadi saya kecewa dengan praktik pendidikan hari ini. Hampir segalanya dikotak-kotakkan, pengekangan dan kreatifitas  objek didik tidak diarahkan untuk berkembang. Tawuran terjadi seantero negeri, ada arogansi yang kental tak terbendung dari sisi pendidikan.  Dan akhirnya elit kampus bertidak sebagai hakim yang memutuskan harapan meraih pendidikan formal. Sistem pendidikan diadopsi dari negara-negara maju, tidak ada lagi ciri khas nilai kearifan lokal, tapi praktiknya amburadul. Akademisi pun tunduk kepada kapitalisme. Pendidikan hari ini dijadikan bisnis, sehingga mahasiswa yang dianggap bengal bisa merusak pasaran pendidikan. Kemudian dibentuklah komisi disiplin, yang harusnya menyadarkan kembali mahasiswa bengal tadi agar kembali memahami tujuan pendidikan komprehensif, namun nyatanya itu sama sekali tidak terjadi. Ancaman drop out kini menunggu pengesahan dari Rektor, sumber segala kebenaran.

Tidak akan habisnya manusia-manusia bengal yang ingin memanusiakan dirinya, disinilah peran pendidikan. Ketika solusi pencitraan lebih dikedepankan dari aspek pendidikan dan moralitas, maka tidak layak sebuah institusi menyandang gelar “universitas”, tidak pantas penghuninya dianggap “akademisi”, tapi yang paling pantas adalah “Lembaga Pengadilan Kampus”.

Ini hanyalah prolog. Sangat potensial untuk diperdebatkan kembali..