Translate

Selasa, 13 Januari 2015

Island Hopping : Komodo National Park (bagian 2)

Lepas dari dermaga Loh Liang, birunya langit tak lagi menemani dipagi menjelang siang itu. Silih berganti kelabu menggantung, memayungi kapal yang menggaris perairan Taman Nasional Komodo. Sesuai agenda, paket tour selanjutnya adalah Pantai Pink dan Pantai Bidadari yang berada di gugusan pulau taman nasional. Sembari menanti kapal berlabuh kembali, teman-teman mempersiapkan alat snorkling yang tersedia di gudang kapal, ataupun alat dasar yang dibawa sendiri. Tidak banyak yang begitu menarik disepanjang perjalanan selain menyaksikan punggungan gunung yang muncul ke permukaan laut, berjejer massif dan tandus. Saya dari dek kapal justru menatap tajam pusaran air ditengah laut, fenomena ini banyak kita temukan di perairan Komodo, daerah selat yang merupakan tempat pertemuan arus dari laut Aussie dan laut Banda. Dari letak geografis ini kemudian agenda kapal tidak bisa seenaknya berbolak balik sepanjang waktu, kata Bachtiar sang Pemilik kapal, perhitungan akan kondisi arus permukaan harus tepat sehingga kita tidak terjebak dalam ombak dan pusaran air yang bisa mengancam nyawa. Tidak jarang bahkan kapal yang terbilang nekad diperairan ini ditelan ganasnya laut perairan ini. Sekali lagi pesan yang diberikan oleh alam, justru dibalik keganasan alamiah terbaring indah lembutnya belaian sang pencipta. Taman Nasional Komodo adalah bukti ke-maha cantiknya Sang Penguasa Alam.

- Pantai Pink dan Pantai Bidadari

Seperti namanya, pantai Pink (Pink Beach) adalah daerah pertemuan antara laut dan daratan yang dibatasi pasir yang bergradasi merah keputihan. Merahnya pasir ini disebabkan dari campuran mineral dan biogenik karang merah (Tubipora Musica) yang mati dan mengendap di pantai. Terbilang jarang ditemukan, inilah yang menjadi magnet bagi wisatawan di tempat ini.



Kapal ini pun akhirnya merapat, tali tambang dilempar dan kemudian awak kapal mengikatnya di pelampung tak jauh dari bibir pantai, jangkar harus berada ditempatnya tidak boleh dibuang karena dapat merusak karang, ini keren pikirku. Satu persatu kawan mulai melapisi kaca masker dengan odol atau anti fogging, memasang snorkle dan menyiapkan fin, agenda utama dipantai ini adalah snorkling, menjelajah kemilau karang yang terpantul oleh biasan sinar matahari yang bersinar sendu. Untuk berjaga bagi yang tidak pandai berenang, sebagian teman memakai pelampung, hal seperti ini juga dianjurkan bagi yang masih belajar snorkling sekedar berjaga untuk tidak merusak karang karena kayuhan fin atau menginjaknya langsung. 

Sensasi bermain air di pantai ini memang sangat dianjurkan, hamparan karang mendominasi, mulai dari soft dan hard coral menghiasi kontur bawah laut yang berbentuk slope. Namun saat-saat musim barat, seperti waktu ini, kayuhan fin (kaki katak) yang kita gunakan harus bekerja ekstra, arus permukaan disekitaran area snorkling cukup kuat. Mata para awak kapal mengawasi waktu dan juga teman-teman yang menkmati pesona bawah laut ini. Beningnya air, ikan-ikan menari diantara karang yang sepoi melambai, akkh surga. Dengan tenang, kuatur tempo nafasku, melemaskan badan dipermukaan, melambatkan denyut jantung dan taaakk, siapa yang tahan untuk tidak berenang bersama penghuni-penghuni surga itu. Selebihnya sulit saya mendeskripsikan karang dan ikan-ikan yang berwarna-warni itu, sepertinya kita sepakat jika hal seperti ini tidak akan sepadan antara yang diceritakan dengan suasana aslinya.

Selepas dari pantai Pink, pelayaran dilanjutkan ke pantai Bidadari, masih dengan agenda snorkling. Secara kasat mata, pantai Bidadari tidak secantik namanya, mungkin karena pengaruh musim juga sampai garis pantai tidak sebersih di pantai sebelumnya. Menurut penuturan para awak kapal, hampir keseluruhan pantai yang bisa dikunjungi merupakan area terumbu karang, tidak sedikit pula pantai-pantai itu di privatisasi oleh bule' asing. Satu-satunya alat pembuktian yang menegaskan cerita ini adalah dengan gambar kamera dengan kualitas jauh dari standar profesional. Walaupun begitu, bukan berarti melunturkan segala kenangan, bukan?





Perjalanan itu menguras energi, tapi sulit mencari alasan untuk menghentikannya. Inilah candu, candu bertualang. Menjelajahi gugusan Kepulauan Taman Nasional Komodo sangat tidak mungkin dalam kurun waktu sehari saja, namun keterbatasan waktu yang menghentikan langkah ini. Sebentar malam kapal besi menanti untuk mengantarkan pulang kekampung halaman. Pulau Kanawa, Pulau Padar, Diving Spot adalah tiga hal yang mengganjilkan perjalanan ini. Harapan itu berlalu seiring cahaya lampu Labuan Bajo kabur di pandangan mata.

Perjalanan mengajarkan saya sulit untuk menyangsikan segala fakta alamiah yang membentang di jagad pandangan ini. Jika dari semua ini mengajarkan kesyukuran, maka tiada alasan bagi kita untuk membagikannya.
Semoga seterusnya demikian.