Translate

Minggu, 21 Juli 2013

Sebuah tanya : Perlukah Militansi Mahasiswa ?


Tanpa nilai, Universitas hanya akan melahirkan “a new educated barbarian” (mental barbar terpelajar). 
- Jose Ortega-

Sangat menyenangkan, ketika tahu bahwa nama kita berada di salah satu jurusan yang kita pilih saat pengumuman SBNPTN, atau jalur lain untuk memasuki dunia kampus. Euphoria melanda, ketika kita mampu lulus dengan persaingan ketat di kampus idaman, untuk sesuatu yang dicita-citakan. Kampus, selalu menjadi angan-angan dari jenjang pendidikan yang digeluti setiap orang. Katanya, kampus itu bebas, berpakaian bebas, kreatifitas tanpa batas, serta pergaulan yang terbuka luas. Tetapi ada juga kampus dinas yang justru sebaliknya, mengutamakan kedisiplinan, baik itu soal waktu, pakaian maupun akomodasi..
Mahasiswa tidak terlepas dari sejarah bangsa ini. Kita sangat menyukai kata ‘dulu’, karena memang mahasiswa dulu di zamannya sangat diperhitungkan jumlahnya untuk sekedar menumbangkan rezim. Setiap alumni, selalu duduk dengan bangga menceritakan seluk beluk perjuangannya dahulu; masa yang begitu diharapkan bisa diulang kembali.

Lantas seperti apakah mahasiswa sekarang?

Peran serta mahasiswa dalam proses berbangsa dan bernegara selalu mempunyai warna yang berbeda, faktor perkembangan pemikiran modernitas disandingkan era informasi menimbulkan kelunturan dalam memahami identitas kemahasiswaan kekinian.  Semangat kepemudaan dalam diri mahasiswa; yang mempunyai energi dan potensi yang besar, harus disalurkan/dikanalisasi dengan baik agar semangat tadi termanfaatkan untuk kemajuan. Seperti halnya air, potensi besarnya harus dimanfaatkan menjadi energi penggerak, irigasi sawah, bahan baku industri, atau pembangkit listrik, tapi jika tak dimanfaatkan justru bisa merusak sampai menimbulkan bencana.

Di tulisan sebelumnya, saya sedikit menyinggung tentang pemahaman yang kian absurd tentang peran mahasiswa. Lembeknya si Iron Stock, pemaknaan yang sempit tentang status dan peran mahasiswa. Sangat aneh jika negara kita selalu mau dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan sering mengadopsi sitem kurikulum. Negeri kita ini sangat ragam budaya, metode pendekatan pendidikan tidak boleh disama-samakan. Karena tentu bukan hanya saya yang sepakat, kalau kita tidak mau dididik menjadi orang Jepang. Pendidikan justru harus bisa memperkuat kearifan-kearifan lokal tapi tidak chauvinis dalam berpikir. Aneh kan jika universitas dituntut untuk memenuhi permintaan pasar akan tenaga kerja, bukannya memprioritaskan produk kampus menciptakan lapangan kerja?

Kembali ke mahasiswa baru. Saya teringat kemarin seorang dosen mengatakan, “pada jaman dahulu, untuk membedakan yang mana mahasiswa pribumi dengan mahasiswa penjajah, maka dia harus digunduli“. Maksud yang ingin beliau sampaikan disini adalah, janganlah seorang mahasiswa senior bersifat superioritas terhadap juniornya, bermental sok penguasa ataupun penindas. Ajarilah mereka agar tidak patoa-toai (menghargai yang lebih tua). Disinilah entry point-nya, pendidikan holistik dengan karakter budaya. Mental budaya inlander dengan semangat kemajuan, bukan mental korup dengan semangat opurtunis.
Dari berbagai sumber, pengalaman dan diskusi, dapat disimpulkan tahapan pengembangan kemahasiswaan secara garis besarnya melalui empat tahapan :

1) Pengenalan jati diri.
Untuk menjadi agen pembaharu, pola pikir adalah sejata utama. Perubahan cara berpikir kaku di SMA harus diubah dengan berpikir elegan dan dinamis. Pengenalan potensi dan mampu memotivsi diri adalah indikator utama dalam pengenalan jati diri. Pencapaiannya adalah ketika mahasiswa baru sudah dapat menentukan pemetaan hidup (life mapping), sifatnya jangka panjang..

2) Manajerial
Seperti ulasan diatas, bahwa salah cara memanfaatkan energi besar mahasiswa adalah kemampuan manajerial. Dalam cakupan sederhananya, konsep manajerial adalah tahap persiapan mahasiswa untuk bisa menyalurkan aksinya dengan indikatir utama, team work buliding, daya inovasi dan kreasi, serta kemampuan berkomunikasi massa. Di tahapan ini harus timbul keresahan dalam batin mahasiswa, tentang carut-marutnya negeri, haus akan berbagai ilmu, sampai kepada sebuah sikap pergerakan kemahasiswaan.

3) Tahap Kepemimpinan
Organisasi adalah bentuk persahabatan tertinggi mahasiswa“. Setelah tahapan persiapan, elaborasi proses kader yang mantap adalah pencapaian dalam hal kepemimpinan. Dimana kemampuan mahasiswa diuji untuk mengurusi selain dirinya sendiri, dan tentu melalui sebuah wadah bernama organisasi kemahasiswaa. Indikator utamanya adalah integritas dan social skill.

4). Pematangan
Secara progressif, setelah tiga tahapan sebelumnya dijalani dengan sungguh-sungguh, pasca memimpin secara kolektif, disamping fokus untuk studi akhir. Mahasiswa pada tahapan ini diharapkan mampu mengembangkan skill enterpreneurship (jiwa wirausaha), pengembangan jaringan dan kerjasama (networking), serta sebuah sikap/persepsi politik terhadap situasi kenegaraan. Fokus utama pencapaian disini adalah aspek pengabdian. Menyalurkan dan mengagitasi semangat mengabdi dalam koridor-koridor perjuangan..

Dari sederet ulasan objektif diatas kemudian timbul pertanyaan, sudahkah kita memahami dan mengerti tentang ekspektasi dari seorang mahasiswa?

Makin sepinya kampus di sore hari berganti dengan menjamurnya komunitas-komunitas sosial adalah bukti kreatifitas mencari bentuk. Namun setengah hati teriris, mainstream gerakan semakin parsial dan tak diminati lagi. Masing-masing membawa ego bendera, maunya yang praktis. Semua gerakan di level bawah tanpa sama sekali menyinggung elit, petaka ini akan terus terwarisi. Jagalah semangat mudamu, kurangilah berkompromi dengan sesuatu yang mengikis idealisme. Walaupun kebanyakan, aktivis kampus dianggap segerombolan badut yang rasa ngototnya tinggi. Tapi berbanggalah jadi orang-orang yg sedikit, karena orang-orang sedikitlah yang memerintah orang banyak.

Saya dan segelintir orang masih percaya, bahwa gerakan militan yang progressif harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan. Cukuplah negeri ini diisi oleh para bedebah, biarkanlah itu menjadi sejarah pahit bangsa kita, tetapi sang Iron Stok harus menentukan nasib, memiliki 
integritas, mempunyai semangat militan untuk kesejahteraan bangsa ke depannya..

Maka tentukanlah nasibmu, karena Tuhan sudah berjanji, tak berhak mengaturnya..

Salam hangat dari tana Daeng..

Senin, 01 Juli 2013

Demokrasi Beragama


Perluasan makna demokrasi -tanpa batas perincian- sering kali menjadikan seseorang melupakan prinsip-prinsip lain yang harus menjadi pertimbangan dalam penerapan demokrasi itu.
Demokrasi sejatinya membunuh kepentingan individu, atas nama kepentingan kelompok. Namun, tidak jarang orang selalu mengaitkan demokrasi dengan angka-angka sehingga pengambilan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa menghiraukan tuntutan agama ataupun prinsip kebangsaan/budaya bangsa..
Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak -bila memang konsensus tidak dapat ditemukan- memang dapat dilakukan dalam bidang politik dan pengelolaan negara.
Yang perlu diperhatikan adalah, pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tuntunan agama, tidak dapat didasarkan atas pandangan mayoritas karena agama adalah tuntunan Ilahi..
Itulah sebabnya seseorang yang memiliki otoritas dalam bidang agama, jika memiliki pendapat yang berbeda dengan pihak lain dalam bidang agama -walaupun mayoritas- maka ia harus menjalankan pendapatnya dan TIDAK mengikuti pendapat mayoritas.