Translate

Jumat, 09 Mei 2014

Bena, Kampung Adat Megalith di Lembah Inerie

Lahir di Indonesia, hidup di Indonesia, mati di Indonesia..
Sedihnya umur..
Mari keluar berpetualang, menjelajah,
Menemukan harta karun kehidupan di berbagai belahan Bumi.
Bukankah kita tidak sedang dipenjara ?
~IK tour the world~



Indonesia adalah negara dengan 350 kelompok etnis, sangat menarik tentunya mencari tahu, menjelajahi keanekaragam budaya nusantara yang cenderung masih asli. Menjamah kehidupan masyarakat yang jauh dari peradaban dan teknologi, merupakan gairah tersendiri buat kita yang ingin mengenal khasanah kekayaan negeri. Menoleh kekanan peta Indonesia, tepatnya di pulau Flores - Nusa Tenggara Timur, betapa unik subur dan ragam budaya di salah satu kawasan timur ini. Bagaimana tidak, Flores termasuk dalam jajaran rangkaian gunung api, karakter budaya yang masih kental, serta memiliki kawasan wisata alam yang dikenal unik dan khas.

Truk yang kami tumpangi menurunkan di pertigaan gelap Bajawa-Aimere. Lapar, lalu seorang kawan mencari-cari disekitar apa yang bisa dimakan. Sambil berlalu dengan meminjam motor milik warga, yang lain mengeluarkan kompor dan masak air panas, menyeruput kopi di teras warung yang sudah tutup adalah impian yang haeus segera ditunaikan, mengusir hawa dingin, dan mengurangi sugesti lapar.  Tengah malam pula, satu-satunya warung yang terbuka jauh dari tempat kami bergumul didekat kompor hanya warung yang melayani masakan daging anjing, asik betul, sayangnya keadaan belum begitu mendesak sehingga belum dibolehkan, dan sayangnya lagi kopi tumbuk yang sempat dibeli di pasar Geliting-Maumere, rupanya habis dipakai pesta pergantian tahun di Moni - Kelimutu. Ya, ini adalah masih bagian dari rangkaian perjalanan SparklingMB, menjelajah sekelumit keajaiban Flores.

Bajawa Kota Dingin, begitulah yang terpampang di landmark ketika kita memasuki kota ini. Penduduk asli mayoritas beragama Nasrani bersuku Bajawa (bhajawa - bha: piring - djawa: perdamaian). Kota yang ramah, berhawa sejuk, dan hanya ada 1 masjid. Tidak banyak yang dikunjungi disekitar kota ini, setelah menginap semalam dan paginya kita berjalan menyusuri jalan sepi kota, dan bercengkrama dengan penduduk. Disela kabut tipis pagi itu, nampak keperkasaan gunung Inerie, yang diyakini penduduk setempat sebagai singgahsana dewa Yeta, sang pelindung kampung. Dilembah gunung itulah terdapat sebuah desa adat megalitikum, dengan ciri khas masyarakat pemuja gunung, kampung Bena..


Setelah sukses melobi pick-up milik warga, tim SparklingMB bergerak 19 km dari Bajawa menuju kampung Bena. Gerimis tak mengurungkan niat untuk membelah hutan tropis, jalan berkelok, dan sesekali disertai tanjakan ekstrim. Bau busuk kampas rem yang bekerja keras mengangkut 15 orang semakin melengkapi aroma petualangan pagi itu, semakin dekat dengan lansekap kerucut gunung Inerie. Melewati turunan bukit, nampaklah rumah beratap ijuk, bertiang tunggal dan tata letak rumah yang berjumlah 40 menyerupai perahu. Hujan deras menyambut, flysheet dibuka dan masing-masing berlarian menuju bhaga (rumah berpenghuni) yang menjual pernak-pernik khas perkampungan itu. Mulai dari maket perkampungan yang berbahan kayu, gigi babi rusa, gelang dan kalung bermata uang logam, gelang dan aksesoris adat lainnya. Sejak dicalokan menjadi salah satu situs warisan dunia, UNESCO, pada tahun 1995, warga sudah terbiasa melayani para pelancong, bahasa Indonesia yang lancar, warga yang sudah pandai bergaya depan kamera adalah buktinya.




Hujan reda, cahaya matahari mulai mengintip. Cerita dengan pak tua penjual aksesoris memberikan banyak informasi tentang kampung Bena ini. Di dekat gerbang terdapat bhaga yang tampak masih baru, katanya untuk material dan ukiran saja nilai bangunan ini seharga mobil innova. Belum lagi pesta masuk rumah yang anggaran biayanya hampir seharga rumahnya. Setiap bhaga diisi oleh satu klan, dengan tanda boneka perempuan di bubungan rumah-rumah kampung Bena, ini artinya kekerabatan menganut sistem matriarkat (perempuan sebagai kepala keluarga). Pekerjaan sehari-hari perempuan kampung Bena adalah menenun, sedangkan laki-laki kebanyakan berladang. Setelah berpamitan dan memberikan sumbangan ala kadarnya untuk memasuki kawasan situs kepada kepala dusun, tim bergegas mengecap khasanah kebudayaan megalitikum di kampung Bena ini.


Hal yang menarik perhatian saat menaiki anak tangga yang ternyata merangkap fungsi sebagai drainase karena kontur tanah yang berada di wilayah perbukitan. Karena tidak lama kita melihat air tergenang yang memantulkan bayangan objek. Kita akan banyak menemukan sisa peninggalan kebudayaan megalitikum seperti menhir, dolmen, dan kuburan para leluhur. Selain bhaga, terdapat juga pondok kecil bertiang tunggal dan beratap ijuk, ngadhu, sepintas terlihat seperti pondok berteduh, padahal fungsi dari bangunan ini sebagai bukan sebagai hunian, melainkan untuk menaruh hewan kurban saat diselenggarakan pesta adat. Sementara di teras rumah kita dapat menyaksikan perempuan-perempuan Bena menenun sarung, selendang, dan kain untuk keperluan adat. Kini, sangat jarang kita temukan kain tenun yang menggunakan pewarna alami, yah karena unsur pewarna alam ini mulai sulit didapatkan. Konon kabarnya, di pulau Alor masih ada beberapa yang menggunakan pewarna alam dari habitat laut. Meskipun memakai benang tekstil, satu buah sarung bisa memakan waktu seminggu masa penenunan, inilah sebab mengapa harga kain tenun cenderung mahal. Hasil tenunan ini merupakan penunjang ekonomi keluarga.


Sampai di ujung perkampungan, yang berada dipuncak bukit, suguhan pemandangan alam lembah gunung Inerie dan sisi sebelah barat lansekap kampung, sangat meneduhkan. Aroma alam yang segar dan arsitektur perkampungan membawa pikiran melayang kekampung seberang. Ada sepotong rindu yang kutitip tinggal disini.







Bena Traditional Village


- Instagram @aldjapari tagar #SparklingMB #visitFLORES

- Behind camera @Rahmayani @Ron @Saldi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar