_aLdjapari_
"Jika sungai terakhir sudah mengering,
Jika pohon terakhir sudah ditebang,
Maka barulah manusia sadar, bahwa uang tidak bisa dimakan"
Dengan sedikit kegelisahan, tentang banyaknya
pergeseran-pergeseran (menurutku) nilai sosio-kultural;kearifan lokal yang
berlaku di masyarakat kini, tentang sesuatu yang akrab disapa
"westernisasi-modernisasi" yang kemarin dikuliahkan Bang Anhar
Gonggong, dan tentang gambaran masa depan budaya dalam mengawal sistem
pendidikan maupun pemerintahan.
Adanya dikotomi tentang definisi budaya selalu menjadi pembicaraan
yang tak basi, oleh dramatikus, sejarawan, ahli budaya klasik sampai
kontemporer, akademisi, pemerhati, maupun tetua adat juga angkat bicara. Tentu
dengan alasan yang sama, sebuah kegelisahan hati, ingin mengktritik kacaunya
tatanan hidup sosial masyarakat yang apatis dan sebenarnya tidak 'lugu', tapi
lebih pantas dikatakan 'munafik'.
Sapa yang sangkal, bahwa budaya pop saat ini menjadi sebuah soft power bagi suatu negara. Sebut
saja, Jepang dengan Manga dan Anime-nya, Korea dengan drama film dan
musikal-nya, Eropa dan Yunani (sejak dulu) dengan pesta Mitologi-nya dan masih
banyak dominasi budaya adopsi dari negara lain, menyingkirkan dominasi budaya
inlander. Soft power ini bahkan menjadi trend, mode bahkan lifestyle yang
kemudian kita kenal dengan istilah westernisasi, sekulerisasi, atau moderniasi.
Praktisnya, kita juga mengenal beberapa sederet istilah mengenai teori-teori
kebudayaan. Seperti; Pop Culture, Youth Culture, Trend, Fashion, Enjokosai
Menurut hematku, identitas kebudayaan kini mulai absurd. Segudang teori tak
mampu memuaskan krisis fundamental dewasa ini. Miskinnya integritas personal
tentu berbanding lurus dengan karakter kebangsaan. Dan kadang kita hanya mampu
berkata , dengan lantang, “hey Kawan, zaman ini milik kita, gaya kita adalah
budaya kita, mari kita warnai zaman ini dengan kuas-kuas kita sendiri (dengan
kanvas pragmatisme tentunya)”. Atau senada dengan kaum Epicurean ribuan tahun
silam, yang katanya, “Orang Asing, disini kalian akan hidup senang, disini,
kenikmatan adalah kebaikan tertinggi”. Dan
kita akan terus terbelakang, sistem ekonomi yang dibanggakan padahal rating
global sistem pendidikannya juara dari belakang.
Ekspektasi dari sebuah kegelisahan hati.
Melihat negeri ini nyaman.
Lautnya, gunungnya, lansekap desanya, atau tentang keramahan
kotanya.
Ekshibisi dari sebuah ambisi.
Membuat mereka yang terpinggirkan bisa tersenyum, seperti kita
yang tiap pagi baca koran dan minum kopi.
Pancasila, Kearifan Lokal, Norma, Traktat, atau yang lebih kecil,
Sapaan tetangga.
Apakah kita hanya mengeluh? atau berbuat mulai dari diri sendiri.
(yang kontras dari negeri ini, dan aku merindukannya)
#Selamat Hari Anti Korupsi
hmmm...kayak knal dengan picture yg trpasang
BalasHapus-_-"
BalasHapus